Sejarah Agung Bangsa Aceh
Keagungan
sejarah dan peradaban kaum Muslimin Nusantara yang telah berkembang pesat dalam
bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum
Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai
sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua pake
koteka dan perempuan kelihatan teteknya, yang kadang-kadang disorongkannya
kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang
sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia
ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki
sebagai bangsa moor, yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di
Mindanau sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan mereka yang menindas dan
serakahlah yang telah menjadikan bangsa Muslim ini maju, padahal kenyataannya
merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi
alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya, yang telah mengantarkan
bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya.
Hal inilah yang
telah dilakukan penjajah kafir terhadap bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara,
terutama di Acheh. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu
lainnya, Acheh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi
bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan
semangat jihad fie sabilillah, menjadi benteng utama pertahanan Islam yang
tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah
kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois, sehingga mendatangkan kerugian
yang besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda
Paul Van ’t Veer, dalam De Acheh Oorlog; “Bangsa Belanda dan negeri Belanda
tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangan
dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan
puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini
adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa
Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih dari pada
hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik
internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda”
Para ahli sejarah, terutama yang selalu mengutip pendapat
intelektual penjajah kafir, dan ironisnya menjadi materi pada literatur resmi
pemerintah sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi, menyatakan bahwa
Islam mulai berkembang di Nusantara pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai
yang berdiri pada awal abad ke 13 M dinyatakan sebagai Kerajaan Islam pertama
di Nusantara berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo atau Ibnu Batutah. Meurah
Silu yang terkenal dengan Sultan Malikus Salih digambarkan sebagai seorang
muallaf yang baru masuk Islam setelah berkuasa, padahal silsilah beliau
membuktikan bahwa nenek moyangnya berhubungan dengan keturunan Rasulullah
melalui Imam Ja’far Shadiq. Tindakan pengkaburan ini dilanjutkan dengan
pernyataan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) yang terkenal sebagai pusat
Islamisasi awal di Nusantara berada di Komboja dan tidak memiliki hubungan
historis dengan Kerajaan Islam Acheh Darussalam, Kerajaan Islam Pasai ataupun
Kerajaan Islam Perlak yang selanjutnya berperan sebagai pusat utama Islamisasi
di alam Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Padahal bukti-bukti menyatakan bahwa
Kerajaan Jeumpa (Champa) sebagaimana dinyatakan Raffless berada di Acheh, atau
di sekitar daerah Peudada kabupaten Bireuen saat ini.
Maka untuk
mencapai sebuah renaisans, kebangkitan kembali Acheh dengan segala keagungan
dan kegemilangannya, sejarah muram Acheh yang dicitrakan para penjajah dan
antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi
serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari
hasil dekonstruksi inilah, sejarah Acheh direkonstruksi, dibangun kembali
bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit
kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Deconstruction for reconstruction.
Para kolonialis
Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai
strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang
bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara
efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah peradaban bangsa yang
dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur,
dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi.
Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda
telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa
dengan alasan pengembangan pengetahuan.
Selanjutnya
mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah lalu menguasai.
Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara
dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah
menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya,
diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa
Padang dengan bangsa Acheh yang sama-sama diketahui sebagai pilar Islam
Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan
Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Acheh yang
tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim,
yang satu menjadi antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang
berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di
Acheh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad
Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari
Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Acheh. Masyarakat
Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak
beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah
bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem
saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya
sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun
bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya
sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan
peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat
diketahui bahwa di Acheh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang
digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura,
Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya.
Di kalangan
bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana
Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua
Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya
Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat
negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai
(Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula
bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke
Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun
sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous
tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse
nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah
sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur
barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para
pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan
Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama
Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa
Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang
berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an,
Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar
ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di
manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah
yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus
merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis
Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang
bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari
emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King
Solomon.[1]
Perdagangan
antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua
jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra”
(silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke
Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan
Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum
Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan
Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa,
ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah
dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia
sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.[2]
Akan tetapi,
karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia
Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat
Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan
India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan
menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra
telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya,
pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai
timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah
menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau
Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan
Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,
termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan
yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini
dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.[3]
Ini artinya
peradaban Acheh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum
banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban
Acheh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah
purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik
berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut
akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26
Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Acheh yang umumnya
dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi
tradisi sebagian masyarakat Acheh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila
sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran
buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan
Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh
Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan
Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat
Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud
Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.
Keadaan
revolusioner dan dinamis yang terjadi di Acheh dari waktu ke waktu sepanjang
500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan
Acheh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang
terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan.
Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki
peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat
akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya
banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Acheh tertanam atau
hilang.
Namun demikian,
dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat
awal mula, tentang sejarah kegemilangan Acheh, terutama pada masa pra-Islam.
Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat
peradaban dan pengetahuan masyarakat Acheh pra-Islam, baik zaman
pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Acheh yang
strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh
lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah,
Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan
peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.
Dari
sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Acheh
memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti
otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus
peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan Barus-Acheh ini
telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga
megantarkan Acheh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian
peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada
zaman itu ke Acheh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat,
sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke
Acheh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa
kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Acheh, dan tidak diragukan bahwa
kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa
yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan
Cina saat ini.
Kegemilangan
masyarakat Acheh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan
pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk
memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang
sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan
dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para
pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di
Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan
yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita
dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai
berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan
sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan
tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda
Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang
mudah kepada kekafiran.
Masuknya Islam
telah mengantarkan masyarakat Acheh sebagai bagian dari pergerakan
internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya
sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan
dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah
menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Acheh,
baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum
sehingga banyak ulama yang datang ke Acheh harus kembali belajar agar cukup
pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Acheh yang kosmopolit masa
itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Acheh sebagai “Serambi
Mekkah”, sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna
sebenarnya adalah karena Acheh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa
Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Acheh
sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki
kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya.
Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas
kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Acheh
atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili
(Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang
didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap
utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian
ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak
terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan
fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699
dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin
negara.[4]
Dalam sebuah
haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: ”Sebaik-baik kamu pada zaman
jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam”. Ini adalah
sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam
yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali
tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang
secara terang-terangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri
sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan
masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran
al-Qur’an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam.
Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan
telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi
Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah
Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan ”Pedang Allah” yang telah
menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.
Masyarakat Arab
sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi
peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, baik
Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab
di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan
kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah
jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan
pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun
Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil
yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang
berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak
diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi
Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super
power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk
kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan
spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi
mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis
menjadi peradaban modern rasionalis.
Hal inilah yang
terjadi pada masyarakat Acheh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa
yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih
kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah.
Jika sebelum Islam masyarakat Acheh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil
dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam
datang menyinari masyarakat Acheh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru
yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara.
Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi
sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan
selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Acheh digerakkan oleh
Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan
kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 777 M
oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak
tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi
dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung
oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan
Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan seterusnya yang
mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Acheh Darussalam yang
menggabungkan semua Kerajaan Islam Acheh, menggapai puncaknya keagungannya pada
zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau
Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam
lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao.
Demikian pula
para Sultan Acheh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar,
baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara
teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang
digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling
terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali
Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama
beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad,
Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan
dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang
konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui
jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling
strategis melalui jalur perkawinan.
Wali Songo
mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah
terbaiknya yang dikenal dengan nama ”Puteri Champa”, gadis cantik jelita dan
cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang juga masih keponakan
dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan
pendidikan di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera
bernama Raden Fatah, yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit
dan mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam
lingkungan pendidikan Sunan Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi
penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat
dukungan meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan
mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan
demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah
Jawa dan mulai berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief
Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari keturunan keluarga besar Kesultanan
Perlak-Pasai yang telah mendirikan Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.
Pemikir Islam
kontemporer Ismail R. Faruqi menjuluki muslim nusantara, para pejuang Acheh
sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have
waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa
yang paling pertama dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang
agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500
tahun lebih masyarakat Muslim Acheh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang
silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis ”kaphe” yang hendak menjajah
Acheh dan menghilangkan dominasi Islam. Dengan gagah perkasa dan senjata apa
adanya mereka bangkit berjihad fie sabilillah melawan tentara-tentara Salib
dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa
itu.[6]
Akhirnya,
sejarah kemanusiaan harus mengakui, Acheh dengan segala kegemilangan sejarah
peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia
pada bidangnya masing-masing yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat
manusia. Nama-nama besar dari Acheh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia,
diantaranya seperti Syahriansyah Salman, Syahri Nuwi, Sultan Malikus Saleh,
Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin
Ar-Raniry, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk.
Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya.[7]